Angin sepoi-sepoi membelai rimbun dedaunan, menggelitik ranting pepohonan, tepat lima meter di depan mataku terhampar dataran air yang menggenangi ratusan hektar lahan cekung, ditambah pantulan sinar pusat tata surya yang semakin menggelincir seakan tenggelam di dasar bumi, warna orange merupakan ciri khas detik-detik nan elok seperti ini, inilah senja, yang membuat mata tidak ingin berkedip sedetikpun. Aku duduk santai di teras villaku yang berada di pinggiran Danau Koi yang berjarak 100 KM dari tempat tinggal orang tuaku di Pangkalpinang, sambil menikmati secangkir kopi sesruput demi sesruput. Tak lama kemudian keluarlah seorang lelaki berusia empat tahun di bawahku yang baru selesai mandi, untuk saat ini usiaku beranjak 25 tahun. Dia menarik kursi di sampingku sambil sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan kain gordyn.
“Sore bang..,” sapanya.
“Rizkiiii, gordyn jendela mana yang kamu pakai ?” tanyaku.
“Ha? Ini memang desainnya seperti ini bang, abang saja kurang modis, lagian tadi abang buru-buru dan mendadak mengajak kesini, jadi aku bawa perlengkapan seadanya saja.” Perkenalkan, dia adalah keponakanku yang sekaligus asistenku, asisten direktur perusahaan cotton buds milik keluarga kami.
“Kenapa merenung bang, terus kenapa tiba- tiba mengajak ke sini, bukannya abang kalau ke sini hanya pada waktu liburan saja, atau pada waktu banyak masalah saja ?”, tanyanya.
“Aku sedang teringat seseorang ki,” jawabku.
“Hanya karena itu? Mantankah?” tanyanya. Aku setengah menganggukkan kepala.
“Ceritakanlah bang kalau begitu, siapa tahu aku bersedia membantu!” tambahnya.
“Tidak akan ada yang bersedia membantu, karena ini hal yang misterius, tapi mungkin akan sedikit lebih baik jika aku ceritakan. Begini ceritanya, sembilan tahun yang lalu, aku benar-benar jatuh cinta pertama kalinya kepada seorang wanita. Saat itu aku kelas sebelas SMA, aku jatuh cinta pada seorang remaja, teman sekelasku, namanya Silva, yang ku ketahui dia anak yatim, sehingga hanya tinggal bersama ibu dan adik laki- lakinya. Kami sudah saling kenal sedari kelas sepuluh, akhirnya kami jadian ketika kelas sebelas. Kami menjalani hubungan yang sangat baik, hampir setiap saat kami merangkai cerita, berbagi kesenangan maupun kesedihan, yang sekarang rangkaian itu hanya menjadi kenangan yang begitu pahit bagiku. Hingga saat itu akhirnya datang. Saat itu kami sudah kelas duabelas tepatnya hari minggu sore. Seperti biasa, setiap sore minggu kami merefresh otak yang sedang penat. Sore itu aku membawanya ke villa ini. Kami menikmati sunset seperti saat ini, tepat duduk berdua di kursi ini. Tapi tiba- tiba dia bertanya kepadaku,
“Kak, bagaimana seandainya jika aku meninggalkanmu, atau seandainya aku menghilang darimu atau kehidupanmu?” Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan, akhirnya aku bertanya balik,
“Heh, kamu ngomong apa to, maksudmu apa?”
“Hanya seandainya kak, apa yang akan kakak lakukan seandainya terjadi seperti itu?” tanyanya.
“Aku akan tetap menunggumu, dan selalu menanti kedatanganmu kembali” jawabku.
“Benarkah?” tanyanya, sambil memberikan tatapan kosong.
Sekitar selesai magrib akhirnya kami pulang ke rumah. Keesokan harinya tiba- tiba hal yang aneh terjadi, Silva yang biasanya menyambutku dengan senyuman manisnya dan ucapan selamat pagi di kelas, untuk pagi ini tak terdengar sama sekali, bahkan batang hidungnyapun tidak terlihat. Kemana dia? Dalam hatiku. Kutanyakan kepada teman- teman lainnya, mereka tidak ada yang mengetahuinya, termasuk Sela, teman dekatnya. Akhirnya, detik itu juga aku bergegas ke rumahnya. Setelah kuteliti, rumahnya tidak ada orang sama sekali, nomor handphonenya pun tidak aktif untuk dihubungi. Kemudian aku pergi untuk menemui adiknya di SD, tetapi guru kelasnya bilang bahwa adiknyapun tidak hadir tanpa keterangan. Karena pikiranku buntu, akhirnya aku kembali lagi ke sekolah. Sorenya, aku berusaha memastikan di rumahnya lagi. Keesokan harinyapun demikian, setiap pagi dan sore aku memastikan keberadaannya, hampir seminggu berturut- turut, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meminta bantuan pihak sekolah dan kepolisian, bahkan detektif juga aku ikutsertakan. Alhasil, merekapun tidak bisa menemukannya.
Saat itu hatiku benar- benar hancur , aku masih terus saja memastikan keberadaan dia di rumahnya dan selalu mencarinya sampai aku tamat SMA. Sampai saat ini akupun belum bisa menemukannya, dan bahkan aku belum menghapus kontaknya. Nah, apakah kamu bisa membantu, Ki?” tanyaku. Dia tersenyum haru sambil menggelengkan kepala.
“Bagaimana denganmu? Kisah cintamu?” tanyaku, memecahkan harunya.
“Wah, kalau aku sudah beberapa kali jatuh cinta dan patah hati, bang. Untuk sekarang, aku sedang merasa ingin sendiri terlebih dahulu dan mengejar impianku lebih dulu.”
“Hm, tapi ingat pesanku, jangan pernah mempermainkan perasaan wanita, Ki.”
“ Bagaimana kamu terakhir putus?” tambahku.
“Yang aku ingat terakhir putus, aku yang mutusin bang, dia bilang begini bang,
“Rizki, tolong putusin aku!”, nah, akhirnya aku putusin”.
“ O, masuk akal, masuk akal.” Selesai magrib, akhirnya kami pamit pulang.
“Mas Parno, kami pamit dulu ya?” kami berpamitan dengan penjaga villaku.
“Hati- hati di jalan Den!” jawabnya. O iya, aku lupa memperkenalkan diri, Den di situ bukan Raden untuk sebutan kehormatan, tapi itu namaku, namaku Deni Cahyadi. Akhirnya kami pulang dan Rizki yang mengemudi mobil. Ketika Isya, kami mampir di sebuah masjid, dan meninggalkan handphoneku di mobil. Ketika selesai sholat dan sedang mengecheck handphone, aku terkejut bukan main, ada tiga panggilan tak terjawab dengan nama kontak Dik Silva. Bersambung... (sebuah karya dari Slamet, Universitas Bangka Belitung).