Translate

Bus Jurusan Hatimu

Matahari tepat di atas kepala, sengatan sinarnya terasa sampai ke ubun-ubun, jarum pendek dan panjang jam tepat di angka dua belas, kebisingan kendaraan yang hilir mudik menambah panasnya suasana. Sudah beberapa menit aku duduk di halte bus ini untuk menunggu bus jurusan rumah orang tuaku. Tak berapa lama, berhentilah sebuah bus tepat di hadapanku.
“Ke mana dik?” Tanya kernet bus tersebut.
“Mau pergi ke Sungailiat bang,” jawabku.
“Mari naik!” langsung saja aku naik dan mencari tempat duduk yang nyaman, alhasil kursi yang kosong tinggal satu, langsung saja aku tempati kursi itu. Untuk lebih nyamannya, kupasang headset di telingaku dan ku putar musik favoritku sambil menikmati pemandangan di luar bus. Baru beberapa menit, tiba-tiba ada yang mencuit pundakku, setelah kucari tahu, ternyata berasal dari seorang gadis di sampingku, dia berhijab,dan memakai jilbab merah jambu. Aku pandangi wajahnya, manis sekali senyumannya, tetapi ternyata wajahnya terasa tidak asing bagiku. Dia tersenyum sambil mengucapkan sesuatu, karena tidak terdengar, ku buka headset yang menyumbat telingaku, dan mulai mendengarkan apa yang diucapkannya.
“Kak Tommy kan, bagaimana kabar kakak?” tanyanya.
“Iya, alhamdulillah baik,” jawabku. Aku menjadi bingung, darimana dia mengetahui nama itu.
“Sudah lama tidak bertemu kakak berjualan bakso lagi di dekat alun-alun,” tambahnya. Aku semakin bingung,kok dia juga tahu kalau aku dulu pernah berjualan bakso di pinggiran alun-alun. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia sebenarnya, tapi tak berhasil juga, akhirnya aku menyerah.
“Adik ini siapa ya?” tanyaku.
“Aku Siti kak, mantan pelanggan setia bakso kakak.”
“Siti siapa, Siti kan ada banyak?”
“Siti Rahma kak, kakak kok cepat sekali lupanya?”
“Hahaha, Rahma rupanya. Wajarlah, kan sudah sekitar 2 tahun kakak tidak berjualan bakso lagi, terus dulu kan Rahma belum berhijab, sekarang makin cantik soalnya kalau memakai hijab, jadi kakak agak samar.Ini Rahma mau kemana, tumben kok naik bus?” tanyaku.
“o iya ya, alhamdulillah kak, Rahma sudah pakai hijab sekarang, mau ke rumah nenek kak, hehe, pengen sekali-sekali naik bus kak, nenek khawatir kalau Rahma sendiri naik mobil pribadi, lebih besar resikonya kata nenek. Eh kak, sekarang sudah menjamur ya yang menjual bakso seperti kakak itu, padahal dulu cuma kakak yang menjual. Tapi, kayaknya mereka satu usaha deh kak, soalnya di nama usahanya pasti ada tambahan Salam, Tetapi tetap saja lebih enak kalau kakak yang menjual, sehingga sekarang aku semakin jarang membeli bakso.”
“Alhamdulillah, Rahma sudah memakai hijab, tapi kalau bisa jangan cuma sebatas itu, akhlak juga harus dijaga, ikuti tuntunan kita, Al-qur’an dan Al-hadist, hehe, ceramah sedikit, kakak juga masih harus banyak belajar kok. O iya, naik kendaraan umum tu lebih kecil resikonya, apa lagi perjalanan jarak jauh. Eh, yang bakso tadi apa maksud Rahma kok lebih enak kalau kakak yang jual?” tanyaku lagi.
“Iyalah kak, semuanya kan butuh proses, ini juga Rahma sedang mempelajari fiqih, yang penting rahma bisa istiqomah kak. Ni kak ya, kalau bakso di tempet kakak dulu hampir mirip sih rasanya dengan yang orang jual sekarang, malahan sama, tapi Rahma kan hobi bercerita, kalau kakak yang jual kan Rahma bisa bercerita panjang lebar walaupun pas Rahma tidak mengajak teman ke situ, nah itulah kelebihannya.”
“Bercerita kan bisa ke siapa saja, Rahma sekarang masih melanjutkan kuliah kan?” tambahku lagi.
“Masih kak, sekarang Rahma sudah semester enam, sebentar lagi skripsi. Terus kakak sekarang bekerja di mana, ada kesibukan apa, soalnya pas aku tanya ke penjaga kios bakso yang di dekat alun-alun itu, dia bilang, dialah boss kakak sebenernya, kakak kemarin-kemarin tu cuma karyawan, terus dia yang mecat kakak karna kerja kakak tidak benar,benar kak ya apa yang dikatakannya?”
Nah, beginilah dia kalau sedang ngobrol, tidak ada habisnya, seperti tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu, pertama kalinya aku bertemu pelanggan seperti dia. Waktu itu, aku sudah dua tahun berjualan bakso, dan  sudah dua tahun lulus SMA.Karena keterbatasan ekonomi, aku tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, oleh karena itu aku nekat untuk membuat usaha.Oh iya, kenapa Rahma bilang bahwa dulu baru kakak yang berjualan bakso seperti itu? Karena bakso yang aku buat berbeda, orang lain menggunakan daging sapi, aku menggunakan daging ayam dan daging ikan tenggiri, dan juga punya resep bumbu rahasia. Pada waktu itu terkenal dengan sebutan Bakso Ateng (ayam tenggiri), apalagi di kalangan mahasiswa.
Siang itu ketika aku sedang asyik menjajakan bakso dan melayani para pelanggan di kios yang berada di pinggiran alun-alun, tiba-tiba Honda Jazz warna biru parkir di halaman kios. Ya, sekarang aku sudah memiliki kios, tapi dua tahun yang lalu yang kupunya hanya sebuah gerobak. Tak lama kemudian turunlah tiga orang gadis dari Honda Jazz itu dan menghampiriku.
“Kak, baksonya tiga mangkuk!” pesan salah satu dari mereka.
“Iya dik, silahkan duduk dan mohon tunggu ya!” pintaku. Setelah duduk sambil melihat-lihat menu, mereka pesan lagi.
“Es tehnya tiga kak ya!” pinta mereka.
“Dik, di situ ada kertas menu dan kertas untuk nyatat pesanannya, silahkan di catat saja apa yang mau dipesan, setelah itu baru beri ke kakak kertasnya!”
Karena banyaknya yang memesan, mereka menunggu lumayan lama. Ketika sedang sibuk melayani yang lain, tiba-tiba salah satu dari merka menghampiriku.
“Kak, lama sekali? Kami sudah menunggu dari tadi, mana pesanan kami?”
“Iya dik, mohon sabar ya, ini sebentar lagi.”
“Bukannya pembeli itu adalah Raja?” gerutunya.
“Raja itu cowok.” Sahutku.
“Iya, bukannya pembeli itu adalah ratu?”
“Ratu kok beli bakso, kalo pengawal baru masuk akal. Dan jangan melupakan budaya antri! ” jawabku sambil menyingkir. Saat itu aku sedang lelah dan sibuk, jadi kujawab sesuai kepentinganku saja, tidak memikirkan kepentingan pelanggan. Serentak, mereka bertiga langsung pergi tanpa meninggalkan pesan. Kutanya kepada para pelanggan yang kebetulan sedang makan bakso di situ,
“Siapa sih mereka?” tanyaku. Salah seorang mahasiswa langgananku menjawab,
“Mereka mahasiswi kampus kami kak, mereka memang begitu, yang protes tadi tu Rahma namanya, Siti Rahma,” jawabnya. Dalam perkiraanku mereka tidak akan mampir lagi ke sini, tapi ternyata keesokan harinya mereka mampir lagi dan meminta maaf kepadaku, akupun meminta maaf juga kepada mereka, mulai dari sinilah Rahma menjadi pelanggan setiaku, setiap dia ada waktu pasti mampir ke warungku. Kadang sendiri, kadang dengan teman-temannya. Bahkan dia semakin akrab denganku, dia sering menceritakan apa yang menjadi unek-uneknya, dan masalah-maslahnya disaat-saat sepi pelanggan.
Singkat cerita, di saat tepat tiga tahun aku berjualan, tabunganku sudah lumayan banyak, jadi kuputuskan untuk membuka cabang baru, dan mempekerjakan karyawan termasuk di kiosku yang lama. Seiring berjalannya waktu, aku terus mengembangkan usaha, dan juga ku sisihkan uang untuk keperluan pribadi. Alhasil dua tahun setelah ituatau tepatnya sekarang aku mempunyai duabelas cabang warung bakso, dan setiap warung mempunyai nama akhiran Salam, dari hasil usaha inilah aku sekarang mampu menyekolahkan adikku, membangun rumah impian, membeli mobil pribadi, membahagiakan orang tua, dan masih banyak lainnya, tetapi aku merahasiakan jika aku adalah pemilik warung-warung tersebut. Untuk saat ini aku hanya sibuk mengontrol warung-warung bakso tersebut.
“Kak? Kok diam?” Tanya Rahma.
“Anu Ma, kakak sekarang tidak bekerja, tapi kakak punya kesibukan.”
“Maksudnya kak? terus kakak kenapa dipecat?” tambahnya.
“Ma.. , sebenernya kakak pemilik semua warung bakso dengan nama belakang Salam. Nama kakak sebenarnya bukan Tomi saja, tapi ada imbuhan Salamnya, jadi nama lengkap kakak Tomi Salam, kakak lupa memberi tahu kepadamu selama ini. Haduh, kakak emang memerintah pegawai kakak untuk menjaga rahasia kalau kakak yang punya warung, tetapi kakak bukan memerintah mereka untuk berbohong.”
“Oo, jadi kakak yang punya cabang-cabang itu, kakak hebat ya, dalam waktu yang bisa dibilang singkat, kakak bisa jadi seperti sekarang ini, tapi kenapa harus dirahasiakan?” Cerocosnya.
“Yang hebat tu hanya Allah SWT, Ma. Aku tidak bisa begini kalau Allah tidak memberi apa yang aku inginkan, aku ngrahasiain ini soalnya aku takut menjadi kufur, dan aku takut menjadi sombong.”
“Benar itu kak, jadi sekarang apa lagi keinginan kakak yang belum terpenuhi?” tanyanya sambil tersenyum manis, manis sekali.
“Hehe,pengen naikin haji kedua orang tua, dan yang ke dua pengen nikah, tapi kayaknya agak susah kalau yang ke dua ini, jadi ku serahkan saja sama Yang di Atas,” jawabku.
“Boleh aku minta nomormu,Ma?”, tanyaku agak gugup dan lirih. Tapi tiba- tiba,
“Stop bang, saya berhenti di sini!” pintanya kepada sang supir agak keras.
“Maaf kak, saya harus turun disini untuk naik angkutan kota ke rumah nenek.Sampai jumpa,kak. Assalamualikum.” Dia bergegas turun dari bus dan menghampiri angkutan kota yang sedang parkir di pinggiran jalan.
“Wallaikumsalam,” jawabku. Subhanallah, aku semakin kagum kepadanya, walaupun dulu aku juga pernah mengaguminya, tapi tidak seperti saat ini. Sayangnya, selama ini aku tidak mengetahui alamat rumahnya, termasuk kontak yang dapat dihubungi. Tapi biarlah, yang namanya jodoh sudah ada yang mengatur,kataku dalam hati.
Setelah seminggu di rumah orang tuaku, akhirnya kuputuskan untuk pulang ke rumah yang ada di Pangkalpinang untuk mengontrol usahaku.
Suatu malam, saat aku sedang duduk santai di warung bakso pinggiran alun-alun sambil asik wifi-an dan dengan ditemani segelas kopi, tiba-tiba terdengar suara cewek berbicara kepadaku, dan suaranya tidak asing bagiku,
“Kak, baksonya semangkuk, tidak usah pakai ondel, tidak usah pakai mie.” Dia menarik kursi di hadapanku dan mendudukinya. Tak salah lagi, dia adalah Rahma, dan tak pernah ketinggalan senyum manisnya.

“Kamu mau minum apa, Ma?” ku tatap wajahnya sembari memberikan senyum kecil. Mulai dari situlah kami menjalin komunikasi. Singkat cerita setelah Rahma wisuda aku melamar dia dan akhirnya kami menikah. (Karya : Slamet, Universitas Bangka Belitung)