Translate

Wednesday, June 17, 2015

Denting Waktu episode 2


“Hati- hati di jalan Den!” jawabnya. O iya, aku lupa memperkenalkan diri, Den di situ bukan Raden untuk sebutan kehormatan, tapi itu namaku, namaku Deni Cahyadi. Akhirnya kami pulang dan Rizki yang mengemudi mobil. Ketika Isya, kami mampir di sebuah masjid, dan meninggalkan handphoneku di mobil. Ketika selesai sholat dan sedang mengecheck handphone, aku terkejut bukan main, ada tiga panggilan tak terjawab dengan nama kontak Dik Silva. Tanganku gemetar, sampai ke sekujur tubuhku, mulutku terkunci, jantungku berdetak luar biasa, aku bergegas ke arah Rizki yang baru keluar dari masjid.
                “Ada apa bang?” tanyanya.
                “Dia Ki...” jawabku sambil tersengal.
            “Benarkah? Tenang dulu bang, kita pastikan terlebih dahulu. Bukankah nomornya sudah lama, dan harusnya sudah terblokir.” Jawabnya. Akhirnya kupastikan, ku tekan icon mirip huruf c hijau di layar androidku.
                “Tuuuutttt........ tuuuuuutttt........tuuuuuuuuutttt.......” masih menunggu, dan tak lama kemudian,
                “Assalamualaikum.....” jawabnya.
                “Wallaikumsalam..., benarkah ini kamu Va?” tanyaku dengan masih saja gemetar.
                “Kak... kakak dimana sekarang?” nadanya bercampur dengan nada tangis.
                “Kakak masih di perjalanan pulang ke rumah Va, kamu di mana?” tanyaku.
                “Aku sekarang ada di rumah kak.” jawabnya, dan masih terdengar isak tangisnya.
                “Rumah yang lamakah?”
                “Iya kak...”
               “Baiklah, tunggu limabelas menit, kakak akan ke sana”. Tanpa basa- basi aku menarik Rizki ke dalam mobil, dan ku kemudi mobil itu dengan kecepatan penuh. Rizki masih resah di bangku sampingku, dia masih tidak bisa percaya dan menerima.
                “Bang, tunggu dulu bang, sekarang banyak penipuan bang, siapa tahu itu penipuan bang, seandainya abang ke sana dan dijadikan sandra bagaimana? Atau mobil ini di rampok bagaimana? atau nanti kalau kita dihipnotis bagaimana? Atau jangan-jangan dia hantu bang?” celotehnya. Aku hanya terdiam dan fokus dengan kemudiku, tanpa memikirkan apa yang dibicarakan oleh Rizki, bahkan aku merasa sepenuhnya yakin yang kutelepon tadi adalah Silva. Dua belas menit kami sudah memarkir mobil di halaman rumahnya yang terkesan sudah lama tidak berpenghuni itu, rumah dua lantai yang berarsitektur seperti kapsul tersebut, tetapi terlihat lampu-lampu di dalam rumahnya sudah menyala. Aku agak sedikit bingung dan merasa ada keanehan yang luar biasa.
                “Ayo turun Ki!”
                “Nggak ah bang, horor!”
                “Jadi, kamu memilih di sini sendirian?” Tanyaku. Akhirnya dia memilih untuk ikut turun. Kami menuju ke pintu rumahnya yang sudah terbuka.
                “Assalamualaikum...”
               “Wallaikumsalam...” terdengar suara wanita menjawab salamku.  Tak berapa lama keluarlah seorang wanita berjilbab, dan usianya sekitar tiga puluh tujuh tahun menghampiri kami di pintu depan.
              “Siapa ya?” tanyanya. Aku terbelalak dan dengkulku menggigil melihat wanita yang langsing tersebut. Kami belum sempat berbicara, dia sudah meminta sesuatu,
                “Oh iya, silahkan masuk, silahkan duduk!” pintanya sambil memberikan senyum lebar. Kami di komando menuju ke ruang tamu. Kami perlahan menduduki kursi ruang tamu tersebut. Aku makin terbelalak melihat ruangannya yang masih rapi, dan sama percis dengan sembilan tahun yang lalu, padahal dulu sempat di obrak- abrik pihak kepolisian dan detektif untuk mendapatkan keterangan. Tak lama kemudian keluarlah anak kecil seusia tujuh tahunan.
“Ma, besok antar aku ke sekolah ya ma?” katanya.
“Itu pasti sayang..., sekarang tidurlah nak, sudah malam!” jawabnya. Kemudian anak itu masuk ke dalam lagi. Aku semakin pusing, semakin bingung dan semakin melongo.
 “Oh iya, kalian ini siapa ya?” tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh pertanyaan yang begitu membuatku frustasi. Akhirnya aku hanya terdiam sepuluh ribu bahasa, Rizkipun demikian, mungkin dia malah sepuluh ribu koma sembilan bahasa.
“Kalau begitu saya buatkan minum sebentar ya?” Dia bergegas pergi ke dapur. Rizki yang dari tadi diam, tiba- tiba menyengol-nyenggol bahuku, sambil berbicara lirih.
“Diakah Silva?” tanyanya. Aku menggeleng, tak berapa lama keluarlah wanita tadi dengan membawa dua cangkir kopi dan beberapa makanan cemilan.
“Silvanya ada bu?” tanyaku.
“Ada di kamar atas, o... adik-adik ini temannya Silva ya?”
“Iya bu, hehe” jawabku.
 “Kenapa dari tadi diam saja, ibu tadi sudah menyiapkan pisau dapur soalnya kalian terlihat mencurigakan, hehe, kalau begitu Silvanya biar ibu panggil ya?” tanyanya. Belum lama berbicara, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga yang mengarah ke ruang tamu. Aku baru sadar, sekarang tepat lima belas menit setelah aku menelponnya.
“Tek... tek..tek...” suara langkah kakinya, terlihat perlahan anggota tubuhnya, dan setelah semua terlihat, aku tercengak, tubuhku kaku, aku berusaha mencubit tangan kiriku, dan ternyata sakit. Ini bukan mimpi, kataku dalam hati. Setelah sekian tahun lamanya, aku bisa melihatnya kembali, lengkap dengan keluarganya, ibunya dan adiknya. Tapi yang membuatku terbelalak, tercengak, bingung, pusing, sariawan (sariawan karena tidak sadar menggigit bibir sendiri) adalah mereka sama sekali tidak berubah, sama persis dengan sembilan tahun yang lalu, Silva yang sekarangpun tubuhnya, wajahnya, mungkin usianya masih sama dengan sembilan tahun yang lalu, dan yang membuatku frustasi adalah ingatannya pun sama dengan sembilan tahun yang lalu, mereka tidak mengenali aku yang sekarang, mungkin karena wajahku dan penampilanku yang berubah, karena usiaku yang semakin bertambah, dan tubuhku yang semakin kekar dan berisi.  Bersaambung.... (Slamet, UBB).

Saturday, June 13, 2015

Denting Waktu 1


Angin sepoi-sepoi membelai rimbun dedaunan, menggelitik ranting pepohonan, tepat lima meter di depan mataku terhampar dataran air yang menggenangi  ratusan hektar lahan cekung, ditambah pantulan sinar pusat tata surya yang semakin menggelincir seakan tenggelam di dasar bumi, warna orange merupakan ciri khas detik-detik nan elok seperti ini, inilah senja, yang membuat mata tidak ingin berkedip sedetikpun. Aku duduk santai di teras villaku yang berada di pinggiran Danau Koi yang berjarak 100 KM dari tempat tinggal orang tuaku di Pangkalpinang, sambil menikmati secangkir kopi sesruput demi sesruput. Tak lama kemudian keluarlah seorang lelaki berusia empat tahun di bawahku yang baru selesai mandi, untuk saat ini usiaku beranjak 25 tahun. Dia menarik kursi di sampingku sambil sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan kain gordyn.
“Sore bang..,” sapanya.
“Rizkiiii, gordyn jendela mana yang kamu pakai ?” tanyaku.
“Ha? Ini memang desainnya seperti ini bang, abang saja kurang modis, lagian tadi abang buru-buru dan mendadak mengajak kesini, jadi aku bawa perlengkapan seadanya saja.” Perkenalkan, dia adalah keponakanku yang sekaligus asistenku, asisten direktur perusahaan cotton buds milik keluarga kami.
         “Kenapa merenung bang, terus kenapa tiba- tiba mengajak ke sini, bukannya abang kalau ke sini hanya pada waktu liburan saja, atau pada waktu banyak masalah saja ?”, tanyanya.
           “Aku sedang teringat seseorang ki,” jawabku.
           “Hanya karena itu? Mantankah?” tanyanya. Aku setengah menganggukkan kepala.
           “Ceritakanlah bang kalau begitu, siapa tahu aku bersedia membantu!” tambahnya.
        “Tidak akan ada yang bersedia membantu, karena ini hal yang misterius, tapi mungkin akan sedikit lebih baik jika aku ceritakan. Begini ceritanya, sembilan tahun yang lalu, aku benar-benar jatuh cinta pertama kalinya kepada seorang wanita. Saat itu aku kelas sebelas SMA, aku jatuh cinta pada seorang remaja, teman sekelasku, namanya Silva, yang ku ketahui dia anak yatim, sehingga hanya tinggal bersama ibu dan adik laki- lakinya. Kami sudah saling kenal sedari kelas sepuluh, akhirnya kami jadian ketika kelas sebelas. Kami menjalani hubungan yang sangat baik, hampir setiap saat kami merangkai cerita, berbagi kesenangan maupun kesedihan, yang sekarang rangkaian itu hanya menjadi kenangan yang begitu pahit bagiku.  Hingga saat itu akhirnya datang. Saat itu kami sudah kelas duabelas tepatnya hari minggu sore. Seperti biasa, setiap sore minggu kami merefresh otak yang sedang penat. Sore itu aku membawanya ke villa ini. Kami menikmati sunset seperti saat ini, tepat duduk berdua di kursi ini. Tapi tiba- tiba dia bertanya kepadaku,
         “Kak, bagaimana seandainya jika aku meninggalkanmu, atau seandainya aku menghilang darimu atau kehidupanmu?” Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dia ajukan, akhirnya aku bertanya balik,
               “Heh, kamu ngomong apa to, maksudmu apa?”
              “Hanya seandainya kak, apa yang akan kakak lakukan seandainya terjadi seperti itu?” tanyanya.
               “Aku akan tetap menunggumu, dan selalu menanti kedatanganmu kembali” jawabku.
               “Benarkah?” tanyanya, sambil memberikan tatapan kosong.
              Sekitar selesai magrib akhirnya kami pulang ke rumah. Keesokan harinya tiba- tiba hal yang  aneh terjadi, Silva yang biasanya menyambutku dengan senyuman manisnya dan ucapan selamat pagi di kelas, untuk pagi ini tak terdengar sama sekali, bahkan batang hidungnyapun tidak terlihat. Kemana dia? Dalam hatiku. Kutanyakan kepada teman- teman lainnya, mereka tidak ada yang mengetahuinya, termasuk Sela, teman dekatnya. Akhirnya, detik itu juga aku bergegas ke rumahnya. Setelah kuteliti, rumahnya tidak ada orang sama sekali, nomor handphonenya pun tidak aktif untuk dihubungi. Kemudian aku pergi untuk menemui adiknya di SD, tetapi guru kelasnya bilang bahwa adiknyapun tidak hadir tanpa keterangan. Karena pikiranku buntu, akhirnya aku kembali lagi ke sekolah. Sorenya, aku berusaha memastikan di rumahnya lagi. Keesokan harinyapun demikian, setiap pagi dan sore aku memastikan keberadaannya, hampir seminggu berturut- turut, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meminta bantuan pihak sekolah dan kepolisian, bahkan detektif juga aku ikutsertakan. Alhasil, merekapun tidak bisa menemukannya.
               Saat itu hatiku benar- benar hancur , aku masih terus saja memastikan keberadaan dia di rumahnya dan selalu mencarinya sampai aku tamat SMA. Sampai saat ini akupun belum bisa menemukannya, dan bahkan aku belum menghapus kontaknya. Nah, apakah kamu bisa membantu, Ki?” tanyaku. Dia tersenyum haru sambil menggelengkan kepala.
                “Bagaimana denganmu? Kisah cintamu?” tanyaku, memecahkan harunya.
                “Wah, kalau aku sudah beberapa kali jatuh cinta dan patah hati, bang. Untuk sekarang, aku sedang merasa ingin sendiri terlebih dahulu dan mengejar impianku lebih dulu.”
                “Hm, tapi ingat pesanku, jangan pernah mempermainkan perasaan wanita, Ki.”
    “ Bagaimana kamu terakhir putus?” tambahku.
                “Yang aku ingat terakhir putus, aku yang mutusin bang, dia bilang begini bang,
“Rizki, tolong putusin aku!”, nah, akhirnya aku putusin”.
                “ O, masuk akal, masuk akal.” Selesai magrib, akhirnya kami pamit pulang.
                “Mas Parno, kami pamit dulu ya?” kami berpamitan dengan penjaga villaku.
              “Hati- hati di jalan Den!” jawabnya. O iya, aku lupa memperkenalkan diri, Den di situ bukan Raden untuk sebutan kehormatan, tapi itu namaku, namaku Deni Cahyadi. Akhirnya kami pulang dan Rizki yang mengemudi mobil. Ketika Isya, kami mampir di sebuah masjid, dan meninggalkan handphoneku di mobil. Ketika selesai sholat dan sedang mengecheck handphone, aku terkejut bukan main, ada tiga panggilan tak terjawab dengan nama kontak Dik Silva. Bersambung... (sebuah karya dari Slamet, Universitas Bangka Belitung).