“Hati-
hati di jalan Den!” jawabnya. O iya, aku lupa memperkenalkan diri, Den di situ bukan Raden untuk sebutan
kehormatan, tapi itu namaku, namaku Deni Cahyadi. Akhirnya kami pulang dan
Rizki yang mengemudi mobil. Ketika Isya, kami mampir di sebuah masjid, dan
meninggalkan handphoneku di mobil.
Ketika selesai sholat dan sedang mengecheck
handphone, aku terkejut bukan main,
ada tiga panggilan tak terjawab dengan nama kontak Dik Silva. Tanganku gemetar,
sampai ke sekujur tubuhku, mulutku terkunci, jantungku berdetak luar biasa, aku
bergegas ke arah Rizki yang baru keluar dari masjid.
“Ada apa bang?” tanyanya.
“Dia Ki...” jawabku sambil
tersengal.
“Benarkah? Tenang dulu bang,
kita pastikan terlebih dahulu. Bukankah nomornya sudah lama, dan harusnya sudah
terblokir.” Jawabnya. Akhirnya kupastikan, ku tekan icon mirip huruf c hijau di
layar androidku.
“Tuuuutttt........
tuuuuuutttt........tuuuuuuuuutttt.......” masih menunggu, dan tak lama
kemudian,
“Assalamualaikum.....” jawabnya.
“Wallaikumsalam..., benarkah ini
kamu Va?” tanyaku dengan masih saja gemetar.
“Kak... kakak dimana sekarang?” nadanya
bercampur dengan nada tangis.
“Kakak masih di perjalanan
pulang ke rumah Va, kamu di mana?” tanyaku.
“Aku sekarang ada di rumah kak.”
jawabnya, dan masih terdengar isak tangisnya.
“Rumah yang lamakah?”
“Iya kak...”
“Baiklah, tunggu limabelas menit,
kakak akan ke sana”. Tanpa basa- basi aku menarik Rizki ke dalam mobil, dan ku
kemudi mobil itu dengan kecepatan penuh. Rizki masih resah di bangku sampingku,
dia masih tidak bisa percaya dan menerima.
“Bang, tunggu dulu bang,
sekarang banyak penipuan bang, siapa tahu itu penipuan bang, seandainya abang
ke sana dan dijadikan sandra bagaimana? Atau mobil ini di rampok bagaimana?
atau nanti kalau kita dihipnotis bagaimana? Atau jangan-jangan dia hantu bang?”
celotehnya. Aku hanya terdiam dan fokus dengan kemudiku, tanpa memikirkan apa
yang dibicarakan oleh Rizki, bahkan aku merasa sepenuhnya yakin yang kutelepon
tadi adalah Silva. Dua belas menit kami sudah memarkir mobil di halaman rumahnya
yang terkesan sudah lama tidak berpenghuni itu, rumah dua lantai yang
berarsitektur seperti kapsul tersebut, tetapi terlihat lampu-lampu di dalam
rumahnya sudah menyala. Aku agak sedikit bingung dan merasa ada keanehan yang
luar biasa.
“Ayo turun Ki!”
“Nggak ah bang, horor!”
“Jadi, kamu memilih di sini
sendirian?” Tanyaku. Akhirnya dia memilih untuk ikut turun. Kami menuju ke
pintu rumahnya yang sudah terbuka.
“Assalamualaikum...”
“Wallaikumsalam...” terdengar
suara wanita menjawab salamku. Tak berapa
lama keluarlah seorang wanita berjilbab, dan usianya sekitar tiga puluh tujuh
tahun menghampiri kami di pintu depan.
“Siapa ya?” tanyanya. Aku terbelalak
dan dengkulku menggigil melihat wanita yang langsing tersebut. Kami belum
sempat berbicara, dia sudah meminta sesuatu,
“Oh iya, silahkan masuk,
silahkan duduk!” pintanya sambil memberikan senyum lebar. Kami di komando
menuju ke ruang tamu. Kami perlahan menduduki kursi ruang tamu tersebut. Aku
makin terbelalak melihat ruangannya yang masih rapi, dan sama percis dengan
sembilan tahun yang lalu, padahal dulu sempat di obrak- abrik pihak kepolisian
dan detektif untuk mendapatkan keterangan. Tak lama kemudian keluarlah anak
kecil seusia tujuh tahunan.
“Ma, besok antar aku ke sekolah ya ma?” katanya.
“Itu pasti sayang..., sekarang tidurlah nak, sudah
malam!” jawabnya. Kemudian anak itu masuk ke dalam lagi. Aku semakin pusing,
semakin bingung dan semakin melongo.
“Oh iya, kalian
ini siapa ya?” tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh pertanyaan yang begitu
membuatku frustasi. Akhirnya aku hanya terdiam sepuluh ribu bahasa, Rizkipun
demikian, mungkin dia malah sepuluh ribu koma sembilan bahasa.
“Kalau begitu saya buatkan minum sebentar ya?” Dia
bergegas pergi ke dapur. Rizki yang dari tadi diam, tiba- tiba menyengol-nyenggol
bahuku, sambil berbicara lirih.
“Diakah Silva?” tanyanya. Aku menggeleng, tak berapa lama
keluarlah wanita tadi dengan membawa dua cangkir kopi dan beberapa makanan
cemilan.
“Silvanya ada bu?” tanyaku.
“Ada di kamar atas, o... adik-adik ini temannya Silva
ya?”
“Iya bu, hehe” jawabku.
“Kenapa dari tadi
diam saja, ibu tadi sudah menyiapkan pisau dapur soalnya kalian terlihat mencurigakan,
hehe, kalau begitu Silvanya biar ibu panggil ya?” tanyanya. Belum lama
berbicara, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga yang mengarah ke ruang
tamu. Aku baru sadar, sekarang tepat lima belas menit setelah aku menelponnya.
“Tek... tek..tek...”
suara langkah kakinya, terlihat perlahan anggota tubuhnya, dan setelah semua
terlihat, aku tercengak, tubuhku kaku, aku berusaha mencubit tangan kiriku, dan
ternyata sakit. Ini bukan mimpi, kataku dalam hati. Setelah sekian tahun
lamanya, aku bisa melihatnya kembali, lengkap dengan keluarganya, ibunya dan
adiknya. Tapi yang membuatku terbelalak, tercengak, bingung, pusing, sariawan
(sariawan karena tidak sadar menggigit bibir sendiri) adalah mereka sama sekali tidak
berubah, sama persis dengan sembilan tahun yang lalu, Silva yang sekarangpun
tubuhnya, wajahnya, mungkin usianya masih sama dengan sembilan tahun yang lalu,
dan yang membuatku frustasi adalah ingatannya pun sama dengan sembilan tahun
yang lalu, mereka tidak mengenali aku yang sekarang, mungkin karena wajahku dan
penampilanku yang berubah, karena usiaku yang semakin bertambah, dan tubuhku
yang semakin kekar dan berisi. Bersaambung.... (Slamet, UBB).